:::

Dari Ruang Tidur ke Galeri Seni: Menjelajahi Identitas Queer di Australia pada tahun 1980-an

MIKE! My Pop Life, 2002 (tampilan instalasi), Galeri Plimsoll, Tasmania, Australia.

MIKE! My Pop Life, 2002 (tampilan instalasi), Galeri Plimsoll, Tasmania, Australia.

Tentang seniman MIKE

Michael Brady (alias MIKE!) adalah seniman dan desainer queer yang tinggal di Tasmania, Australia. Hasil karyanya meliputi seni lukis, seni grafis, fotografi dan media digital. MIKE! membagikan kisah komunitas LGBTIQIA+ melalui hasil karya seni dan perangkat imersif dengan materi yang diambil dari sejarah, budaya populer dan pengalaman pribadinya.

Tentang Galeri Counihan

Galeri Counihan adalah galeri umum gratis yang terletak di pusat Kota Brunswick, Australia, yang juga merupakan tempat tinggal masyarakat Aborigin Wurundjeri Woi-Wurrung. Galeri Counihan dibuka pada tahun 1999 untuk mengenang seniman dan aktivis Australia Noel Counihan (1913-1986), yang merupakan pejuang keadilan sosial dan pembela kebebasan berpendapat yang tak kenal lelah. Program pameran pada galeri juga mencerminkan komitmen mereka dalam mencapai tujuan sosial, keberlanjutan dan wadah untuk mengekspresi kreativitas.


Dari Ruang Tidur ke Galeri Seni: Menjelajahi Identitas Queer di Australia pada tahun 1980-an

Artikel ini ditulis oleh Nicola Bryant, seorang kurator dari Galeri Counihan yang melakukan

 

T: Pameran “My Pop Life” akan berlangsung di Galeri Counihan pada tahun 2024. Bisakah Anda ceritakan sedikit tentang isi pameran?

J:  “My Pop Life” adalah proyek seni semi-otobiografi yang menceritakan kisah pertumbuhan saya sebagai remaja gay di akhir tahun 1980-an di pinggiran kota yang sebagian besar penduduk bekerja sebagai buruh di Nipaluna/Hobart, Tasmania, Australia. Pameran ini terdiri dari serangkaian poster kolase yang disajikan dalam ruang imersif yang menampilkan kembali kamar tidur di masa remaja saya, dengan menata barang-barang buatan zaman tersebut, yang sebagian berupa barang yang sebenarnya dan sebagian lagi ditambahkan kemudian. Setiap poster mewakili sebagian dari diri saya, melalui sejarah, ingatan dan budaya populer menceritakan kisah dan pengalaman saya sebagai pemuda gay yang saat itu merupakan hal yang tabu dan ilegal di Tasmania dan sering menjadi bahan perdebatan publik. Saya menyebut metode penyajian kali ini sebagai “pencampuran” (remixing), di mana artefak dan materi sejarah dikaji dan dipresentasikan kembali dengan cara baru melalui lensa retrospektif queer. Artefak ini termasuk poster budaya pop, album lagu, kaset, kartu koleksi anak muda, foto pribadi, pakaian, mainan, serta kreasi ulang karya penggemar remaja. Melalui “remixing” pencampuran unsur seni dan desain baru berhasil menciptakan narasi visual atau tulisan yang terkadang mendekati fiksi dan fantasi.

 

T: Anda menggunakan “My Pop Life” untuk menampilkan kembali kamar tidur Anda dari tahun 1980-an. Apa alasan Anda melakukan hal ini di tahun 2024?

J: Saya merasa menampilkan ulang kamar tidur masa remaja saya adalah hal yang sangat penting. Pertama kali menjadi seorang queer 30 tahun yang lalu, saya yang waktu itu masih sangat kecil merasa takut, malu, bangga dan penuh emosi lainnya; hingga 5 tahun yang lalu, ketika Australia mengadakan Survei Pos Kesetaraan Pernikahan Australia (Australian Marriage Equality Postal Survey), membangkitkan kembali semangat saya dan membuatku merasa perlu untuk mengeksplorasi lebih jauh isu-isu serupa melalui hasil karya dan meninjau ulang proyek “My Pop Life”. Dengan menampilkan kembali kamar tidur masa remaja saya pada tahun 2024, saya berharap dapat menyajikan kapsul waktu yang informatif, menghibur dan terkadang menantang sejarah, budaya, dan pengalaman pribadi queer, sambil mengeksplorasi isu dan tema yang memengaruhi LGBTIQIA+ dan bahkan komunitas yang lebih luas saat ini. Ketika mulai meneliti materi sejarah untuk pameran baru-baru ini, sejumlah isu mengejutkan muncul di media pada tahun 1980-an dan tetap menarik perhatian dan memengaruhi kehidupan sekarang, seperti hak LGBTIQIA+, yang masih hangat diperdebatkan baik di depan umum maupun pemerintah. Selain itu, juga terdapat isu pemanasan global/perubahan iklim yang ditambah perusakan oleh manusia telah mendatangkan malapetaka bagi lingkungan, peperangan masih berkecamuk, HIV/AIDS masih memengaruhi jutaan nyawa, dan masalah ketidakadilan/diskriminasi yang terus merajalela. Pada saat yang sama, lanskap media telah berkembang dengan cara yang tidak dapat saya bayangkan sebagai anak miskin di Tasmania. Media sosial telah mengubah konsep publik dan individu secara permanen, dan representasi queer telah meningkat hingga mencapai titik komersialisasi massal. Pameran ini didasarkan pada semua elemen ini, memadukan masa lalu dengan masa kini untuk menciptakan pengalaman yang mendalam yang saya harap menarik, relevan dan bahkan menumbuhkan rasa simpati. Lagipula, semua orang pasti suka mendekorasi kamar tidurnya dengan sedikit gaya nostalgia tahun 1980-an, bukan?

 

T: Pameran ini mengalami perombakan berulang, apakah ada perbedaan pada setiap iterasi?

J: Saya pertama kali mempresentasikan proyek ini di Hobart, Australia, pada tahun 2007, dan kemudian berpartisipasi dalam pameran seni visual Festival Midsumma di Melbourne pada tahun berikutnya. Sejak itu, saya telah melakukan pameran di ruang yang berbeda, dengan sedikit perubahan dan perkembangan di setiap iterasinya. Konten pameran sebelumnya berfokus pada budaya populer, kenangan, kisah nostalgia remaja yang menceritakan kisah saya dengan nada universal dengan referensi halus terhadap seksualitas, sejarah dan politik. Setelah beristirahat selama hampir satu dekade, saya memutuskan untuk meninjau kembali proyek ini secara lebih rinci sebagai bagian dari Program Kehormatan di Universitas Tasmania. Proyek ini berhasil keluar dari kamar saya dan memiliki fokus yang lebih besar pada isu-isu LGBTIQIA+ di Tasmania pada akhir tahun 1980-an berdasarkan penelitian sejarah dan eksplorasi lebih mendalam terhadap sejarah saya sendiri. Hasilnya, proyek ini menjadi lebih politis dalam hal konten dan tema. Secara visual, saya menambahkan lebih banyak karya berbasis poster dan menggunakan teks untuk berinteraksi langsung dengan pengunjung, menggunakan materi baru dan yang sudah ada yang diambil dari budaya populer, media utama, dan seni kontemporer. Instalasi kamar tidur juga mencakup semakin banyak barang yang saya kumpulkan selama bertahun-tahun, yang sebagian merupakan hasil karya sendiri dan sebagian lagi dikumpulkan dari tempat lain.

MIKE! “Peran Korban” (Victim Role), 2022, kolase digital; ukuran tergantung tempat pameran

MIKE! “Peran Korban” (Victim Role), 2022, kolase digital; ukuran tergantung tempat pameran

T: Pada umumnya, poster digunakan sebagai sosialisasi atau pemasaran, yang terkadang juga digunakan untuk mengungkapkan protes dan menampilkan karya seni. Seringkali kita mengira poster lebih sering muncul di hadapan publik, seperti jalanan atau sebagai baliho dan slogan, tetapi banyak juga anak muda yang menggunakannya untuk mendekorasi kamar tidurnya. Menurutmu, apakah ada alasan di balik tindakan ini? Dan mengapa pengaturan sedemikian rupa sangat berarti bagi Anda?

J: Poster di kamar tidur selalu menjadi komponen visual utama proyek saya, hal ini berkaitan dengan kebiasaan umum kaum remaja dalam mendekorasi ruang pribadinya untuk mengekspresikan minat dan identitas pribadi. Mengingat kembali masa remajaku, saya melihat bagaimana memajang poster bintang pop dengan cermat sebagai cara yang diperlukan untuk menciptakan ruang yang aman bagi saya di mana banyak diantaranya terdapat ikon queer, mencerminkan meningkatnya kesadaran akan seksualitas saya sendiri. Banyak orang tidak akan menganggap bahwa poster-poster pop memiliki nuansa politik, namun konten poster selalu menyampaikan beberapa pesan yang mungkin bisa saja lebih besar dari pengalaman sendiri. Banyak poster yang menggunakan kode visual yang merujuk pada isu-isu LGBTQIA+ dalam konteks budaya dan politik global. Banyak penyanyi pop, fotografer, penata gaya dan desainer dari kaum queer menggunakan poster sebagai sarana untuk menyampaikan informasi terkait HIV/AIDS. Misalnya, poster penyanyi Jimmy Somerville yang terlihat biasa saja, namun kaos yang dikenakan tercetak tulisan “Aliansi Kekuatan Pembebasan AIDS” atau “ACT UP”.  Seperti video musik dan iklan, konsep-konsep seperti orientasi seksual dapat diekspresikan melalui poster yang sangat menarik bagi kaum remaja seperti saya saat itu. Banyak poster yang saya tempelkan di dinding kamar tidur saya mungkin saja beredar karena pemasaran komersial, namun juga mempromosikan konsep-konsep seperti toleransi, ekspresi diri dan kebanggaan dengan cara yang keren dan penuh warna yang sangat kontras dengan representasi isu-isu LGBTIQIA+ oleh media utama saat itu. Saat berkarya, poster politik, iklan dan karya seni tersebut juga menjadi acuan untuk menciptakan karya yang memadukan slogan politik dengan gambaran budaya pop dan kisah pribadi ke dalam karya saya, dengan memanfaatkan kekuatan poster sebagai media komunikasi massa. Sebagian besar inspirasi saya berasal dari seorang seniman yang juga merupakan desainer dan aktivis queer dari Tasmania yang bernama David McDiarmid (1952-1995), yang merancang poster untuk komunitas LGBTQIA+ pada tahun 1980-an dan awal 1990-an dengan menggunakan koran, citra budaya pop, karya erotis, kerajinan tangan dan bahan-bahan lainnya dalam membuat karya berbasis kolase dan dibuat secara digital untuk menyampaikan sesuatu yang lebih besar daripada jumlah bagian yang dipinjam, plagiarisme atau salinan. Terutama majalah miliknya “Toxic Queen” setebal 32 halaman, dan poster “Kata Mutiara” (Rainbow Aphorisms) yang berbasis teks, memberikan banyak pengaruh dalam proyek saya. Kedua hasil karya ini memanfaatkan kekuatan bahasa dan humor queer untuk menyampaikan pengalaman pribadi McDiarmid tentang HIV/AIDS dan untuk menantang representasi negatif media tentang kehidupan dan masyarakat queer.

 

T: Epidemi HIV/AIDS pada tahun 1980-an membawa isu LGBTQIA+ ke media utama, namun isu-isu ini jarang sekali disebutkan sebelumnya. Pameran ini tampaknya terdapat ketegangan antara persoalan publik dan ranah privat. Apakah ini juga merupakan salah satu topik yang ingin dieksplorasi dalam karya Anda?

J: Iya. Memang ada ketegangan yang disengaja dalam karya saya untuk merefleksikan suasana zaman, khususnya terkait pengalaman LGBTIQIA+. Saya masih sangat muda ketika HIV/AIDS mulai muncul di media utama, yang sebagian besar saya tonton di televisi. Saya pertama kali mendengar tentang penyakit ini ketika aktor Amerika Rock Hudson meninggal karena AIDS pada tahun 1985, yang saat itu menjadi pandemi di seluruh dunia. Sementara di lingkungan saya, kampanye iklan TV “Malaikat Maut” oleh Pemerintah Australia pada tahun 1987 untuk meningkatkan kesadaran tentang HIV/AIDS, menjadi momen budaya, sosial dan politik penting yang saya ingat dengan jelas dan berhasil menanamkan rasa takut saya terhadap HIV/AIDS, tetapi juga membuat saya semakin sadar akan identitas gender saya. Sebagian besar rasa takut tersebut berasal dari kehidupan pribadi yang diperdebatkan secara terbuka di forum publik, yang pasti menimbulkan ketegangan, konfrontasi dan pesan-pesan yang saling bertentangan bagi kaum muda queer.

MIKE! My Pop Life, 2022 (tampilan instalasi). Galeri Plimsoll, Tasmania

MIKE! My Pop Life, 2022 (tampilan instalasi). Galeri Plimsoll, Tasmania

T: Apakah ada makna tersendiri bagi Anda dengan menghadirkan ruang pribadi seperti kamar tidur Anda ke ruang publik seperti Galeri Counihan?

J: Saya pikir penting bagi seniman untuk berbagi pengalaman atau kehidupan pribadinya di ruang publik, khususnya bagi komunitas marginal yang pengalaman hidupnya belum tentu tercermin dalam media utama atau iklan. Kendatipun hak dan citra kaum queer mengalami perubahan menuju ke arah yang lebih baik dalam beberapa dekade terakhir, saya merasa masih ada kebutuhan untuk menceritakan kisah dan pengalaman kami ke khalayak yang lebih luas. Dengan mengundang pengunjung masuk ke ruang tempat saya berada di masa remaja, saya berharap dapat menciptakan ruang queer yang aman untuk menceritakan kisah saya, dan bagi pengunjung dari kaum queer atau bukan dapat merefleksikannya pengalaman mereka sendiri. Menurut saya, galeri publik telah berkembang menjadi ruang yang ramah dan aman bagi seniman queer untuk mempresentasikan karyanya, misalnya saja Galeri Counihan yang memiliki sejarah yang mengesankan dalam menyajikan seni dan pameran bertema pribadi atau politik, sehingga menjadi ruang yang ideal untuk mempresentasikan proyek ini.

 

T: Sebelumnya Anda pernah menyebutkan bahwa penataan pameran ini menggunakan “metode campuran”. Bisakah Anda memberikan sedikit penjelasan?

J: Bagi saya, metode campuran atau ‘remixing’, baik secara fisik maupun konsep, bisa digunakan untuk bersentuhan dengan budaya yang berbeda dengan “mengambil sampel” dari materi yang ada untuk menghadirkan tampilan baru. Bagi saya, ini juga merupakan cara berpikir/berbuat yang membebaskan dan memungkinkan saya untuk meninjau kembali masa lalu, kemudian menggunakan kenangan dan karya tertentu sebagai bahan untuk berkreasi.  Penggunaan metode campuran ini untuk menyampaikan bahwa saya bertindak sesuai dengan kemauan saya sendiri. Itulah inti cerita saya.

Misalnya, seniman yang juga seorang akademis, Eduardo Navas, mengatakan budaya pencampuran sebagai aktivitas global yang menggunakan kreativitas dan praktik salin-tempel informasi, pengambilan “contoh” bahan yang kemudian dicampur menjadi bentuk yang baru, inilah cara yang saya pakai. Dari segi budaya, pencampuran ini berasal dari remix musik pop yang juga muncul dalam karya-karya saya. Bagaimanapun, ini merupakan hasil orisinal yang dikerjakan ulang, ditata ulang dan ditafsirkan ulang agar tampak segar dan sedikit dekat. Navas secara khusus menjelaskan bahwa “remix selektif” adalah situasi di mana seniman menambah dan menghapus sebagian konten dari materi aslinya sambil mempertahankan “suasana agung” agar tetap utuh. Gagasan tentang “suasana agung” ini sangat menarik bagi saya dan langsung mengingatkan saya pada karya David McDiarmid yang menurut saya juga memiliki gaya dan substansi tersendiri yang tidak hanya agung tetapi juga mewujudkan semangat queer.

 

T: Anda pernah bicara tentang menghargai budaya queer, tetapi sepertinya ada banyak unsur menyakitkan dalam pameran ini. Menurut Anda, mengapa memasukkan unsur menghargai sebagai bagian dari pameran?

J: Menurut saya, komunitas LGBTIQIA+ juga butuh untuk dihargai, diakui dan diterima, yang telah ditunjukkan melalui protes, berserikat, budaya pop dan seni selama puluhan tahun. Konsep “kebanggaan” muncul untuk mendefinisikan kebutuhan ini, saya sendiri juga memiliki emosi yang rumit saat meneliti tentang hal ini. Saya masih dalam perjalanan penerimaan diri dan “kebanggaan” terhadap identitas saya sebagai seorang queer maupun seniman, yang sebagian besar merupakan akibat dari diskriminasi dan pemberitaan negatif yang saya dan kelompok LGBTIQIA+ alami selama beberapa dekade. Dari sudut pandang yang lebih pribadi, pengalaman saya sebagai korban pelecehan seksual pada masa kanak-kanak merupakan subjek yang sulit namun penting untuk dieksplorasi dalam proyek ini. Rasa sakit dan trauma menjadi aspek yang menentukan dalam kisah hidup saya, namun saya menyandingkan keduanya dengan budaya queer yang populer dengan “meriah” untuk menyampaikan kegembiraan sekaligus rasa sakit. Ketika saya masih muda, saya membenamkan diri dalam dunia budaya populer yang penuh warna untuk melarikan diri dari kenyataan pribadi saya. Dalam pameran ini, saya menggunakan pendekatan yang sama untuk mengeksplorasi topik-topik yang sulit. Terakhir, My Pop Life adalah kisah pertumbuhan saya, yang tetap menghargai kehidupan dalam menghadapi masa-masa sulit, yang menurut saya dapat dipahami oleh kebanyakan orang.