• Image_Hope
Memahami dan menghormati hak-hak manusia di Asia melalui tindakan nyata dalam museum.
:::

FIHRM-ASIA PACIFIC Kegiatan

Kolom Berita

2022-07-20

Konferensi kali ini mengangkat tema yang membahas secara kritis otonomi relatif dan ruang gerak dari museum Hak Asasi Manusia dan organisasi yang bersangkutan, yang kini telah menjadi masalah mendesak bagi museum di banyak negara. Jenis hubungan apa yang terjalin di antara museum, pemerintah dan para pemegang kuasa? Bagaimana hubungan yang saling bergantungan ini membentuk dan menanggapi peran dan keterlibatan museum terhadap subjek yang dianggap sensitif atau kontroversial oleh masyarakat pada umumnya? Lebih lanjut, konferensi tahun ini mempunyai misi mengangkat dan memetakan situasi terkini museum dengan hak asasi manusia di seluruh dunia yang membahas masalah inklusi/eksklusi sosial, budaya, dan politik dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Pada tahun ini, konferensi secara khusus menerima masukan makalah contoh praktik terbaik museum dalam penanganan atau negosiasi sikap inklusif masyarakat di dalam ruang museum dan/atau di masyarakat pada umumnya.  Pendekatan atau strategi inklusi apa yang terbukti sangat relevan bagi museum hak asasi manusia? Tujuan konferensi tahunan FIRHM adalah untuk berbagi pengalaman, mengembangkan kompetensi dan metode, serta membangun hubungan yang berbasis masyarakat dalam praktik interaksi museum. Penyelenggara Konferensi FIHRM 2022 diselenggarakan oleh Perhimpunan Museum Demokrasi dan Hak Asasi Manusia Norwegia (Demokratinettverket). Museum tuan rumah adalah Pusat Nobel Perdamaian, Pusat Studi Holocaust dan Agama Minoritas Norwegia, dan Museum Konstitusi Eidsvoll 1814.

2022-07-20

Konferensi tahunan FIHRM akan diadakan selama tiga hari di tiga lokasi di Oslo. Prospektus konferensi akan segera diterbitkan. Cara berpartisipasi Sangat mudah, Anda hanya perlu datang ke Oslo untuk turut berpartisipasi. Pendaftaran akan dibuka mulai Juli 2022 dan formulir pendaftaran digital untuk kehadiran langsung dapat ditemukan di: Panduan Konferensi Tahunan FIHRM 2022 https://museum24.no/demokratinettverket/programme2022 Jika Anda ingin mempublikasikan studi kasus di konferensi, penerimaan makalah terbuka mulai sekarang hingga batas waktu 1 Agustus. Untuk informasi lebih lanjut, silakan lihat: Penerimaan Makalah Konferensi Tahunan FIHRM Oslo 2022. https://museum24.no/demokratinettverket/call-for-papers Tahun ini, beberapa kegiatan utama konferensi akan diadakan dalam format gabungan dalam dan luar jaringan, yang memungkinkan peserta dari seluruh dunia bisa turut berpartisipasi secara daring. Informasi lebih lanjut akan diumumkan di www.fihrm2022.org https://museum24.no/demokratinettverket/call-for-papers Perencanaan Konferensi Sesi pembukaan dengan pembicara utama dan diskusi panel khusus akan berlangsung di museum Eidsvoll 1814, mulai Senin, 19 September siang. Pada tanggal 20 September, pertemuan sehari penuh pertama diadakan di Pusat Nobel Perdamaian yang terletak di tepi pantai di pusat Kota Oslo. Kegiatan yang berlangsung mencakup sesi pleno dengan masing-masing sesi yang diisi dengan diskusi, seminar dan lokakarya inspirasional. Kegiatan di malam hari meliputi resepsi formal di Balai Kota Oslo, tempat upacara Penghargaan Nobel Perdamaian tahunan, diikuti dengan makan malam sosial di sebuah restoran di pusat kota. Pada tanggal 21 September, para peserta konferensi diundang untuk menikmati pemandangan indah bagaikan lukisan di pulau Bygdøy yang bisa dicapai melalui perjalanan singkat perahu dari balai kota. Di sana, agenda sehari penuh hari kedua akan diadakan di Pusat Studi Holocaust dan Agama Minoritas Norwegia (Pusat HL), dan akan ada kesempatan untuk bertukar pandangan tentang status terkini dan belajar tentang proyek-proyek inovatif dari museum hak asasi di seluruh dunia. Kegiatan sehari penuh akan mencakup sesi paralel, pembicaraan pleno dan lokakarya sebagai penutup. Peserta yang ingin menjelajah lebih jauh selama berada di Oslo dan Norwegia dapat mengikuti program kunjungan pasca-konferensi pada tanggal 22 September. Program ini meliputi tur museum ke beberapa museum besar di Oslo, seperti Museum Munch yang baru dibuka dan Galeri Nasional Norwegia. Program kunjungan lainnya adalah ke pulau Utøya yang sempat menjadi sasaran serangan teror Oslo 2011, yang kemudian dijadikan pusat pendidikan perintis anak muda. Silakan catat dan luangkan waktu Anda untuk tanggal 19-22 September. Prospektus konferensi lengkap akan segera dirilis. Untuk informasi terbaru, silakan kunjungi: Panduan Acara Konferensi Tahunan FIHRM 2022. https://museum24.no/demokratinettverket/programme2022

2022-07-20

Catatan: Agenda ini hanya berupa perencanaan awal dan mungkin akan ada perubahan. Prospektus rinci akan diumumkan pada bulan Agustus. Hari Pertama  Senin, 19 September Lokasi: Museum Konstitusi Eidsvoll 1814 Upacara Pembukaan, Pertunjukan Budaya dan Kata Sambutan Sesi pleno 1: “Museum di bawah tekanan: Menjawab tantangan” Resepsi malam di Balai Kota Oslo Hari Kedua  Selasa, 20 September Lokasi: Pusat Nobel Perdamaian Oslo Sesi pleno 2: “Perang dan damai: Museum pada masa perang” Menjelajahi perencanaan pameran di Pusat Nobel Perdamaian Sesi pleno 3: “Wali memori politik: Museum yang terjepit di antara pemerintah, masyarakat dan misi serta integritas museum sendiri” Lokakarya Sesi pleno 4: “Pekerjaan HAM museum: Berbagi praktik lapangan yang baik” Acara sosial malam. Resepsi malam konferensi utama di gedung opera Hari Ketiga  Rabu, 21 September Lokasi: Pusat Studi Holocaust dan Agama Minoritas Norwegia Sesi pleno 5: “Apakah ada ruang untuk minoritas? Persilangan antara pemerintah dan museum, dan kekuatan untuk menentukan” Tur pameran di Pusat HL Sesi pleno 6: “Mengekslorasi HAM minoritas melalui seni: Keanekaragaman atau kekeliruan di museum?” Lokakarya Sesi pleno 7: “Kisah siapa? Kekejaman massal di museum - isu pelanggaran HAM saat pengadaan pameran” Makan malam sosial (opsional) Hari Keempat  Jadwal tur pasca konferensi (opsional) Opsi perjalanan 1: Tur berpemandu ke pulau Utøya, sebuah pulau di danau Tyrifjorden, lokasi serangan teroris di kamp musim panas Partai Buruh Pemuda pada 22 Juli 2011. Pada lokasi kejadian dibangun sebuah tugu peringatan dan pusat pendidikan. Opsi perjalanan 2: Tur museum Oslo Pendaftaran individu untuk kehadiran langsung di konferensi FIHRM 2022 telah dibuka. Formulir pendaftaran dapat ditemukan di: https://forms.office.com/pages/responsepage.aspx?id=0eeCMANXXUqNCmYd3gCdhB153fToYjFOuWIbGmc2RV1UNTA4SjFJWVpYQk5QWFBJNDdJREZRMTBRMC4u Kami ingin mengetahui apakah Anda akan berpartisipasi pada keseluruhan kegiatan, atau hanya bergabung pada tanggal tertentu. Harap dicatat bahwa terdapat biaya pendaftaran untuk kehadiran langsung pada konferensi FIHRM tahun ini. Biaya mencakup kegiatan tiga hari penuh, termasuk makan siang, minuman dan jamuan makan malam konferensi utama dengan biaya EUR 180 per orang. Akomodasi tidak termasuk dalam biaya ini dan harus diatur secara terpisah. Beberapa peserta tertentu akan menerima biaya diskon. Peserta yang mendapatkan pengurangan biaya antara lain peserta dari kelompok negara anggota ICOM, anggota FIHRM Asia Pasifik dan pelajar. Untuk kehadiran hanya pada satu hari konferensi juga akan mendapatkan pengurangan biaya. Harap dituliskan pada kolom keterangan pertanyaan ke-13. Harap selesaikan pendaftaran lebih awal untuk memastikan kehadiran Anda pada konferensi. Kami akan berterima kasih jika pendaftaran Anda selesai sebelum 10 Agustus.

Artikel HAM

2023-10-02

Pekerjaan Saya Sebagai pakar budaya di Yayasan Kebudayaan Ainu (The Foundation for Ainu Culture), saya sekarang bekerja di UPOPOY: Museum dan Taman Nasional Ainu. UPOPOY adalah lembaga kebudayaan yang berlokasi di Shiraoi, Hokkaido, dan merupakan lembaga kebudayaan nasional pertama yang dibangun untuk memperkenalkan budaya Ainu. Misi UPOPOY adalah sebagai basis untuk “merevitalisasi dan membangun budaya Ainu”, dan juga menjadi “simbol pembangunan masyarakat yang berwawasan ke depan dan dinamis dengan budaya yang kaya dan beragam di mana masyarakat adat diperlakukan dengan hormat dan bermartabat, tanpa diskriminasi (Dikutip dari laman UPOPOY). Museum Nasional Ainu dan Taman Nasional Ainu adalah fasilitas inti UPOPOY. Taman ini berfungsi sebagai museum terbuka yang menyediakan layanan kepada pengunjung untuk merasakan langsung budaya Ainu melalui fasilitas seperti Balai Pertukaran Budaya, Balai Lokakarya, Sanggar Kerajinan dan lanskap desa tradisional kotan. Pengunjung dapat berpartisipasi dalam program pembelajaran berdasarkan pengalaman sejarah, budaya, pakaian, makanan, ruang hidup, seni dan kerajinan orang Ainu. UPOPOY dibuka untuk umum pada tahun 2020. Dilatari perjuangan selama bertahun-tahun, suku Ainu secara resmi diakui sebagai “masyarakat adat” dalam hukum Jepang. Kendatipun UPOPOY selaku lembaga nasional yang telah beroperasi selama tiga tahun, pada Shiraoi ini terdapat museum swasta “Museum Ainu” yang dikelola masyarakat Ainu sendiri. Karena berhadapan dengan Danau Poroto, museum ini juga disebut sebagai “Poroto Kotan” (kotan memiliki arti “komunitas” atau “desa” dalam bahasa Ainu). Di antara banyak museum dan kawasan wisata di Hokkaido tempat suku Ainu memperkenalkan budayanya sendiri, Shiraoi dipilih sebagai lokasi pembangunan lembaga nasional. Pada tahun 2018, Yayasan Museum Ainu yang mengelola Poroto Kotan bergabung dengan Yayasan Peneliti dan Promosi Budaya Ainu (Foundation for Research and Promotion of Ainu Culture) milik pemerintah, yang kemudian membentuk sistem UPOPOY yang beroperasi saat ini. Sejak April 2013, saya mulai bekerja untuk Yayasan Museum Ainu sebelum merger. Saat ini saya bekerja di bagian “Kotan tradisional” UPOPOY, yang menyediakan layanan kepada pengunjung untuk merasakan kehidupan tradisional Ainu, saya bertugas menerangkan tentang kehidupan dan budaya Ainu serta memperkenalkan kesenian Ainu kepada pengunjung museum dan taman.

2022-11-28

Kata pengantar FIHRM didirikan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap isu-isu hak asasi manusia dan berinisiatif memotivasi museum untuk terlibat dalam isu-isu demokrasi dan inklusi. Konferensi tahunan FIHRM tahun 2022 diadakan di Oslo pada bulan September. Konferensi yang berlangsung selama tiga hari ini diselenggarakan oleh Perhimpunan Museum HAM Norwegia (Demokratinetverket) di tempat-tempat penting di Oslo yang memiliki makna tersendiri dan mewakili demokrasi dan hak asasi manusia yang terdiri dari Museum Eidsvoll 1814, Pusat Nobel Perdamaian dan Pusat Studi Holocaust dan Agama Minoritas Pembahasan pertama yang diangkat adalah tentang bagaimana menggunakan pemikiran kritis dalam membahas otonomi dan fleksibilitas hak asasi manusia di bawah situasi hak asasi manusia dan pemikiran demokrasi masyarakat ditindas, hubungan seperti apa yang ada diantara museum, pemerintah dan masyarakat, dan tekanan apa yang ada selama perkembangannya? Di sisi lain, bagaimana seharusnya museum hak asasi manusia berperan dan berinteraksi dengan topik kontroversial. Pembahasan kedua menjelaskan tentang situasi museum hak asasi dunia saat ini secara global, membahas inklusi dan eksklusi sosial, budaya dan politik dari berbagai sudut pandang yang berbeda, dan memberikan pendekatan dan strategi inklusi yang dapat diterapkan museum hak asasi manusia. Tekanan dan tantangan internal dan eksternal isu HAM yang dihadapi oleh museum Kesetaraan sosial adalah ideologi yang sangat penting dalam masyarakat ideal, tetapi jalan menuju utopia ini masih memiliki banyak tantangan dan halangan. Sesi pembukaan pada hari pertama dibuka oleh Ketua Komite Internasional Dilema Etis ICOM (IC Ethics) yang juga merangkap sebagai Kurator Senior Museum Vest-Adger, Kathrin Pabst, menjelaskan tentang tantangan-tantangan yang mungkin akan dihadapi oleh museum HAM. Lima tekanan yang sering dijumpai museum terdiri dari perselisihan antar rekan kerja, upaya penghapusan masa lalu, intervensi politik dadakan, perang dan pengrusakan, serta motif dalam melindungi warisan budaya suatu negara. Sumber tekanan ini terbagi menjadi internal dan eksternal, internal dari personel dalam organisasi museum itu sendiri, sementara eksternal dari masyarakat dan pemerintah setempat. Namun, krisis juga merupakan situasi titik balik. Meskipun pengembangan museum hak asasi manusia menghadapi berbagai tantangan, tetapi tekanan ini juga dapat dijadikan sebagai stimulan untuk meraih kemajuan. Ketua Dewan Direksi Forum Museum Eropa (European Museum Forum) Jette Sandahl memberikan pencerahan bagaimana seharusnya museum menanggapi tantangan yang ada, ia mengatakan museum-museum justru harus bersatu dalam menghadapi banyak tekanan dan krisis untuk menyingkirkan eksepsionalisme yang telah ada selama berabad-abad, tidak terkunci pada pemikiran lama dan berani keluar dari zona nyaman untuk menemukan sahabat dalam mencari cara untuk maju. Personel museum harus memiliki keberanian untuk menentang kepasifan atau persekongkolan dalam museum, menyelesaikan dilema dan konflik dengan keyakinan yang kuat dan kekuatan kolektif. Mengenai bagaimana semangat solidaritas ini diterapkan di museum, para akademisi dari Museum Nasional Liverpool dan Universitas Leicester akan memberikan contoh nyataberikut ini. Proyek transformasi tepi laut kolaborasi museum dan interdisipliner Museum Nasional Liverpool dan Universitas Leicester mendiskusikan proyek kerja sama mereka tentang transformasi tepi laut (Waterfront Transformation). Proyek ini merupakan contoh yang sangat baik tentang penggunaan kekuatan kolektif untuk bersama-sama memajukan pengembangan lokal menuju masyarakat yang setara melalui kerja sama dalam berbagai aspek dan bidang. Proyek transformasi tepi laut akan terus menjaga terjalinnya hubungan museum dengan masyarakat kontemporer, langkah pertama dimulai dari Liverpool yang ikonik, dengan menghubungkan cerita, warisan budaya, komunitas dan pariwisata yang menjadi simbol Liverpool yang selain menciptakan pengalaman istimewa bagi turis, juga akan menimbulkan fungsi katalisator peningkatan komunitas dan lingkungan. Ini bukan hanya proyek kerjasama antar museum, tetapi juga menyatukan kekuatan masyarakat setempat untuk menciptakan  kota tepi laut Liverpool yang lama dan baru.

2022-11-28

Tadayuki Komai Lahir di kota Gose, prefektur Nara, Jepang pada tahun 1972. Tadayuki mulai menjadi kurator ketika Museum Suiheisha dibuka pada tahun 1998, ia kemudian menjadi kepala museum pada tahun 2015. Tadayuki memperkenalkan ideologi pembentukan Museum Suiheisha kepada dunia melalui FIHRM dan Warisan Ingatan Dunia (MoW). Tadayuki yang bertugas pada kelas studi tentang hak asasi manusia di Kobe College juga memiliki hasil karya publikasi bersama, seperti: Edisi baru “水平社の源流[3] ” (Penerbit Open Magazine, 2002), “水平社宣言の熱と光[4] ” (Penerbit Open Magazine, 2012), “近代の部落問題” (Seminar Masalah Suku Jepang Modern 1), Penerbit Open Magazine, 2022). Museum Suiheisha Museum Suiheisha dibuka di tempat kelahiran Suiheisha Kasiwabara Nasional di kota Gose, prefektur Nara pada Mei 1998. Pendirian museum bertujuan untuk berkontribusi pada revitalisasi budaya hak asasi manusia dan membudayakan falsafah HAM dengan meluncurkan informasi tentang diskriminasi dan hak asasi manusia. Pada September 2015, Museum Suiheisha untuk pertama kalinya berpartisipasi dalam konferensi FIHRM (Federasi Museum Hak Asasi Manusia Internasional) di Wellington, Selandia Baru dan menjadi organisasi Jepang pertama yang bergabung dengan FIHRM pada bulan Desember di tahun yang sama. Sejak itu, Suiheisha menggalakkan berbagai kegiatan dan membagikan filosofi pendirian “merealisasikan falsafah martabat manusia dan perdamaian” dengan dunia. Pada Mei 2016, Museum Suiheisha memperkenalkan “Catatan bersama orang yang terdiskriminasi lintas batas Suiheisha dan Hyonpyonsa” (Lima bahan sejarah koleksi Museum Suiheisha) yang terdaftar dalam Warisan Ingatan Dunia (MoW) UNESCO edisi Asia-Pasifik, di ICOM (Konferensi Museum Internasional) dan Konferensi FIHRM Rosario, Argentina. Museum akan terus bekerja keras untuk mendaftarkannya dalam versi internasional. Pada kesempatan peringatan 100 tahun berdirinya Suiheisha pada tanggal 3 Maret 2022, Museum yang telah direnovasi dibuka kembali. Pada tanggal 3 Maret 1922, di Balai Umum kota Kyoto, Suiheisha didirikan dengan tujuan mewujudkan kesetaraan dan martabat manusia. Anggota utama pendirian Suiheisha terdiri dari para pemuda yang lahir dan tumbuh di lokasi bernama Kasiwabara, kota Gose, prefektur Nara saat ini. Pendirian Suiheisha memiliki misi untuk menghapus diskriminasi terhadap burakumin, mendorong kebebasan dan kesetaraan, menegakkan hak asasi manusia untuk mewujudkan pembebasan burakumin, semangat perjuangan ini diteruskan oleh setiap kontributor hingga sekarang. Untuk mewariskan proses perjuangan ini kepada generasi mendatang, pada bulan Mei 1998 di Kasiwabara, tempat lahirnya Suiheisha, dengan dukungan dari seluruh negeri, Museum Sejarah Suiheisha (berganti nama menjadi Museum Suihesha pada tahun 1999) didirikan . Ideologi pendirian museum yang membangunkan resonansi Deklarasi pendirian Museum Suiheisha yang berbunyi “Menghormati manusia untuk pembebasan diri” dengan motto “Kehangatan bagi dunia membawa kecemerlangan ke manusia” adalah deklarasi hak asasi pertama yang diserukan oleh pihak yang didiskriminasi baik dalam sejarah Jepang maupun sejarah dunia. Filosofi pendirian museum adalah untuk menciptakan masyarakat yang mengakui keberadaan berbagai jenis identitas tanpa diskriminasi. Hal ini tidak saja mendapatkan respon dari warga burakumin saja, tetapi juga dari khalayak ramai, dan memberikan inspirasi dan keberanian bagi Zainichi (orang Korea di Jepang), orang Ryukyu (penduduk asli Okinawa), suku Ainu dan orang yang sembuh dari penyakit kusta akan hak untuk menentukan nasib sendiri. Bahkan mempengaruhi Pekuchon yang didiskriminasi di Korea Utara, Hyonpyonsa didirikan dengan Pekuchon sebagai inti utama pada bulan April 1923. Sejarah pertukaran aliansi Suiheisha dan Hyonpyonsa adalah catatan yang berlandaskan prinsip-prinsip universal manusia seperti hak asasi manusia, kebebasan, kesetaraan, persaudaraan dan demokrasi. Data sejarah menunjukkan bahwa pertukaran mereka dikenal sebagai “Suiheisha dan Pekuchon, catatan bersama warga yang didiskriminasi lintas perbatasan”, dan terdaftar dalam Warisan Ingatan Dunia (MoW) UNESCO-AP pada tahun 2016. Selain itu, pendirian Museum Suiheisha juga menarik perhatian media asing,  majalah “The Nation” juga menerbitkan deklarasi terjemahan bahasa Inggris pendirian Suiheisha dalam sebuah artikel pada 5 September 1923. Diskriminasi burakumin apa yang ingin dihilangkan Suiheisha Berdasarkan konsep deklarasi pendiri Suiheisha Nasional, Museum Suihesha memiliki visi untuk menghilangkan diskriminasi terhadap suku minoritas yang terdiskriminasi. Akar dari apa yang disebut diskriminasi burakumin berasal dari sistem identitas di Jepang pada era pra-modern, di mana pada saat itu, masyarakat mendiskriminasi orang dengan identitas “kotor”. Bahkan hingga sistem identitas ini dihapus secara hukum di Jepang modern, di mana status “kotor” ini telah dihapus pada tahun 1871, tetapi diskriminasi terhadap burakumin yang ditata ulang dalam masyarakat sipil modern kembali menimbulkan masalah sosial yang melekat dalam masyarakat Jepang. Diskriminasi burakumin ini mirip dengan diskriminasi “Tak tersentuh (Untouchables)” dan “Di luar kasta (Outcasts)” serta ras yang disebut “Paria (Dalit)” dalam sistem kasta India. (Orang yang tidak tersentuh, di luar kasta atau terlantar dan paria bukan merujuk pada ras yang berbeda, melainkan nama yang berbeda dari mereka yang didiskriminasi.) Berdasarkan konsep deklarasi pendiri Suiheisha Nasional, Museum Suihesha memiliki visi untuk menghilangkan diskriminasi terhadap suku minoritas yang terdiskriminasi. Akar dari apa yang disebut diskriminasi burakumin terletak pada sistem identitas di Jepang pada zaman pra-modern, di mana pada saat itu, masyarakat mendiskriminasi orang dengan identitas “kotor”, sementara sistem identitas ini tidak ada lagi di Jepang modern secara hukum. Meskipun status “kotor” ini telah dihapus pada tahun 1871, tetapi diskriminasi terhadap burakumin yang ditata ulang dalam masyarakat sipil modern kembali menimbulkan masalah sosial yang melekat dalam masyarakat Jepang. Diskriminasi burakumin ini mirip dengan diskriminasi “tak tersentuh” dan “di luar kasta” serta ras yang disebut “paria” dalam sistem kasta India. Selain itu, diskriminasi terhadap kaum burakumin didefinisikan dalam UU Jepang Pasal 14 pada November 1946 sebagai diskriminasi yang terkait dengan “status sosial dan latar belakang keluarga”, sama seperti “Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial” yang diloloskan Sidang Majelis Umum PBB ke-20 pada Desember 1965, ditempatkan dalam posisi diskriminasi “turun temurun (descent)”. Penghapusan diskriminasi, baik dalam domestik maupun internasional adalah misi yang sangat penting dalam mengatasi masalah hak asasi manusia. Sejak tahun 1868, Jepang menjadikan “Pembaruan Meiji” sebagai titik tolak pengembangan negara Jepang menjadi negara modern (1868 adalah titik awal, dan bukan hanya pada tahun tersebut), dan menata ulang tatanan pembedaan diskriminasi status pra-modern, di mana diskriminasi terhadap kaum burakumin masih ada dalam masyarakat modern. Terutama sekitar tahun 1900-an, diskriminasi terhadap burakumin mulai meningkat drastis, yang memicu pemerintah berupaya untuk memperbaiki masalah kesukuan melalui mekanisme dari atas ke bawah, atau berupaya mengintegrasikan warga burakumin dan non-burakumin. Tetapi kaum burakumin masih belum puas dengan upaya pemerintah, sehingga setelah Perang Dunia Pertama, kaum burakumin dari berbagai daerah aktif dalam gerakan independen tentang penghapusan diskriminasi dan mewujudkan keinginan menentukan nasib sendiri dalam hal kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan. Motivator utama dalam gerakan perwujudan kebebasan burakumin secara independen adalah Suiheisha. Perwujudan harkat dan martabat manusia Meskipun Suiheisha Nasional secara resmi dibubarkan pada tahun 1942, tetapi filosofi pendirian Suiheisha akan kesetaraan dan martabat manusia dicita-citakan sejak saat itu terus diwariskan ke generasi berikutnya, dan gerakan pembebasan burakumin masih tetap berlangsung. Pada tahun 1948, PBB berdasarkan mengesahkan“Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia” memutuskan untuk merumuskan yang mengatur prinsip-prinsip menghormati hak asasi manusia. Pada tahun 1995, “Pendidikan Satu Dekade HAM PBB” mulai digalakkan. Dan mulai tahun 2005, melakukan advokasi “Pengarusutamaan hak asasi manusia”, kesemua upaya ini mendapat dukungan yang cukup besar dan mulai mendapat pengakuan secara global. Kemudian dalam KTT Pembangunan Berkelanjutan PBB tahun 2015, segenap hadirin dengan suara bulat memilih untuk menciptakan semua orang di bumi ini dapat menjalani kehidupan yang berkecukupan, bahagia dan SDGs (tujuan pembangunan berkelanjutan) dan tidak ada yang akan dikecualikan. Untuk mewujudkan masyarakat yang berkelanjutan, SDGs telah menetapkan 17 tujuan misi inti dan 169 proyek benchmark misi terperinci dengan kata kunci hak asasi manusia, yang selaras dengan garis besar filosofi Suiheisha yakni “Kebangkitan prinsip pembawaan manusia menuju kesempurnaan manusia yang tertinggi”. Sebagai museum Jepang pertama yang bergabung dengan Federasi Museum Hak Asasi Manusia Internasional (FIHRM), museum Suiheisha berhasil menyalurkan filosofi pendirian Suiheisha ke seluruh penjuru dunia melalui Warisan Ingatan Dunia (MoW) dan FIHRM. Museum Suiheisha merealisasikan pencapaian martabat manusia melalui pameran dan menyalurkan penyaluran informasi terkait hak asasi manusia. Penggalakan kegiatan ini didukung oleh berbagai organisasi dan kelompok. Pada tahun 1999, di lokasi pendirian museum di Kasiwabara telah berdiri Asosiasi Kerjasama Lokal Museum Suiheisha, yang terdiri dari berbagai lembaga swadaya. Untuk menyambut hangat kedatangan pengunjung, asosiasi merenovasi dan menanam pohon di taman dekat museum. Selain itu, untuk mendukung berbagai proyek museum dan berkontribusi dalam hal pemeliharaan dan pengembangan museum, berbagai organisasi di prefektur Nara yang bekerja bergerak di bidang pendidikan, olahraga, agama, perusahaan dan serikat kerja membentuk Asosiasi Sponsor Museum Suiheisha. Salah satu dari organisasi yang berpartisipasi adalah Aliansi Pembebasan Burakumin Prefektur Nara adalah organisasi yang berasas pada semangat Suiheisha yang mewarisi gerakan pembebasan burakumin. Organisasi ini membeli sejumlah tiket museum pada setiap tahunnya untuk meningkatkan jumlah pengunjung museum. Selain itu, dalam rangka pemugaran untuk memperingati 100 tahun berdirinya Suiheisha, asosiasi sponsor bekerja sama dengan organisasi pendukung lainnya untuk meninjau isi pameran, dan menyerap pendapat dari berbagai perspektif untuk membuat konten pameran yang mendukung. Hasil dari upaya ini meninggalkan pesan dan kesan yang mendalam kepada banyak pengunjung. Dalam pameran terbaru “Area Epilogue”, terdapat kutipan haru dari orang-orang terkenal dan kumpulan “kata-kata yang mengesankan” yang disumbangkan oleh warga biasa. Pada dinding ruang putih dipajangkan secara permanen kutipan yang diadvokasi Suiheisha seperti “Membina dunia yang penuh kehangatan” dalam bentuk karakter tiga dimensi (merujuk pada gambar berikut). Selain itu, pada lima layar besar yang dipasang di dinding, juga menampilkan kata-kata yang menyentuh sanubari pengunjung secara bergantian. “Kata-kata yang bergema di dalam batin” dalam pameran yang disebut sebagai “Museum Seni Bicara” ini akan membuka perekrutan secara luas di masa depan. Siapapun dapat berpartisipasi dalam pameran ini, dengan harapan hal ini bisa menjadi ruang komunal dengan gagasan mewujudkan harkat dan martabat manusia. Terutama dalam pameran terakhir setelah pemugaran, menyajikan kutipan mengesankan dari orang-orang terkenal dan kumpulan “kata-kata yang bergema di dalam batin” dari masyarakat awam. Pada dinding ruang putih dipajangkan secara permanen petikan yang diadvokasi Suiheisha seperti “Membina dunia yang penuh kehangatan”. Selain itu, pada lima layar besar yang dipasang di dinding, juga menampilkan kata-kata yang menyentuh sanubari pengunjung secara bergantian. “Kata-kata yang bergema di dalam batin” dalam pameran yang disebut sebagai “Museum Seni Bicara” ini akan membuka perekrutan secara luas di masa depan. Siapapun dapat berpartisipasi dalam pameran ini, dengan harapan hal ini bisa menjadi ruang komunal dengan gagasan mewujudkan harkat dan martabat manusia. Menciptakan dunia yang penuh kehangatan Sejak berdirinya museum Suiheisha pada tahun 1992, gerakan penghapusan diskriminasi burakumin dan penegakan hak asasi manusia di dalam dan luar negeri telah berlangsung selama 100 tahun. Tetapi kenyataan Jepang saat ini, diskriminasi terhadap minoritas yang digulati Suiheisha Nasional selama ini selalu muncul ke permukaan pada ajang pernikahan atau perjanjian lahan yasan, hingga saat ini, situasi ini masih sulit untuk dikatakan telah hilang total.” Di samping itu, kesalahpahaman masyarakat terkait tabu burakumin sering disalahgunakan oleh banyak oknum tertentu, misalnya, memperalat isu kekurangpahaman terhadap burakumin sebagai alasan untuk menjual buku dengan harga mahal, mengatasnamakan masalah burakumin sebagai dalil untuk memperoleh keuntungan yang tidak semestinya, atau memaksakan kewajiban untuk melakukan sesuatu. Perilaku ini juga menyebabkan timbulnya prasangka dan kesalahpahaman. Lebih parah lagi, fitnah dan respon yang mengkambinghitamkan burakumin menjadi penyebab meningkatnya diskriminasi. Mengingat situasi demikian, Jepang kembali memberlakukan “Tiga Hukum Hak Asasi Manusia” pada tahun 2016 yang terdiri dari “Hukum Penghapusan Diskriminasi terhadap Burakumin”, “Hukum Penghapusan Diskriminasi terhadap Penyandang Disabilitas” dan “Hukum Penghapusan Ujaran Kebencian”. Kemudian pada tahun 2019, pemerintah Jepang juga menerapkan hukum “Pemajuan Kebijakan Ainu”. Di bawah situasi dan latar belakang diskriminasi burakumin dan tren hak asasi manusia yang disebutkan di atas, rantai hubungan antara gerakan hak asasi manusia dan gerakan pembebasan burakumin terhubung melalui pembentukan jaringan regional, penghapusan diskriminasi menjadikan prefektur Nara sebagai basis untuk menyalurkan informasi ke dunia luar. Museum Suiheisha membantu dan mendukung gerakan ini dan mengambil peran sebagai basis untuk menyebarkan informasi hak asasi manusia. Meneruskan warisan Suiheisha Nasional tentang konsep martabat dan kesetaraan manusia, semangat pantang menyerah pada diskriminasi dengan menyematkan cita-cita ini pada masa depan. Cita-cita “Membina dunia yang penuh kehangatan” adalah upaya untuk mewujudkan ideologi dan konsep dalam filosofi pembentukan Suiheisha, di mana setiap orang dapat mengandalkan dirinya se-apa adanya untuk menciptakan situasi di mana mereka dapat hidup dengan nyaman dalam masyarakat yang toleran dan inklusif. Kami percaya bahwa semua pengunjung Museum Suiheisha akan setuju dan meresonansi. “Dunia Penuh Kehangatan, Kemanusiaan Menjadi Mulia”