Menghadapi isu perubahan iklim, kiprah apa saja yang dapat dilakukan museum selaku jembatan komunikasi dengan masyarakat umum? Menyikapi tema “The Power of Museums” pada Konferensi Praha ICOM tahun ini, Federasi Museum Hak Asasi Manusia Internasional - Asia Pasifik (FIHRM-AP) melanjutkan model pembelajaran dan pemberdayaan bersama hak asasi manusia migran tahun 2020. Kali ini, serangkaian kegiatan pembelajaran bersama diluncurkan dengan tema “Perubahan iklim dan HAM” dalam diskusi yang berlangsung selama lima bulan dalam bentuk temu bulanan, praktik investigasi dan lokakarya. FIHRM-AP juga mengundang 12 LSM[1] dan 9 museum[2] nasional turut berpartisipasi dan merumuskan aksi untuk isu iklim dan hak asasi manusia.
FIHRM-ASIA PACIFIC Kegiatan

Kongres tahunan Dewan Museum Internasional (ICOM) berjalan dengan mulus dan berakhir pada 28 Agustus di Praha, Republik Ceko. Berhubung pandemi Covid-19 yang mengglobal, Kongres ke-28 yang mengangkat tema “The Power of Museums” akhirnya berhasil diselenggarakan setelah hampir tiga tahun. Topik yang dibahas merupakan isu-isu baru baik bagi museum maupun bagi masyarakat. Pada panggung utama terdapat empat slogan yang koheren dengan tema, antara lain: “Tujuan: Museum dan Masyarakat Sipil”, “Keberlanjutan: Museum dan Ketegaran”, “Visi: Museum dan Kepemimpinan” dan “Prestasi: Museum dan Teknologi Baru”, dengan tujuan museum selaku komunitas dapat melakukan diskusi secara menyeluruh tentang bagaimana cara untuk memperdalam peran museum di luar kegiatan budaya. Sebagai bagian dari komunitas museum, Museum Nasional Hak Asasi Manusia Taiwan juga berpartisipasi dalam pertemuan ini untuk memperkenalkan metode pameran pendidikan interaktif di dalam museum, menjadi pelopor dalam memajukan pemahaman yang mendalam tentang keadilan transformatif, dan menyikapi dengan jujur perkembangan keadilan transformatif saat ini. Setelah berbagi pendapat yang relevan dengan tema dalam pertemuan yang berlangsung selama tiga hari ini, Komite Internasional Museum Peringatan untuk Mengenang Korban Kejahatan Publik (ICMEMO) juga menyebutkan beberapa isu mendesak yang perlu mendapat perhatian khusus. Museum dan pemberdayaan diri: Penyelamatan di masa perang Pada 24 Februari, pasukan Rusia melakukan invasi militer ke Ukraina timur yang menewaskan puluhan ribu jiwa. Tak lama setelah itu, banyak institusi budaya Ukraina juga diserang. Hal ini mengakibatkan penyimpanan arsip data dan dokumen sangat buruk. Kepala Institut Studi Interdisipliner Babyn Yar (Babyn Yar Interdisciplinary Studies Institute), Marta Havryschko yang melarikan diri dari Ukraina ke Swiss, menggunakan sebuah gambar grafik untuk menunjukkan jumlah lembaga budaya yang hancur atau rusak dalam perang, antara lain: 36 museum, 165 bangunan keagamaan dan 219 bangunan bersejarah, angka ini masih akan terus bertambah. Perang telah mengubah nasib dan kehidupan masyarakat, dan juga telah mengubah cara museum dalam mendukung komunitas. Museum dan lembaga-lembaga di Ukraina, sama seperti Pusat Peringatan Pembantaian Babyn Yar, mulai menyediakan penampungan dan makanan panas, serta memilih untuk bekerja tanpa upah dalam membela hak asasi manusia di Ukraina. Selain memberi dukungan kepada masyarakat, Pusat Peringatan juga mengumpulkan testimoni melawan Rusia melalui berbagai lembaga penegak hukum seperti Mahkamah Internasional di Den Haag, dan mendigitalkan data-data. Digitalisasi data telah menjadi salah satu tugas pokok yang penting di abad ke-21, terlebih lagi pada masa perang saat ini. Terlepas dari situasi kehidupan Ukraina saat ini yang sangat sulit untuk dibayangkan, Marta Havryschko telah menunjukkan bahwa meskipun dalam keadaan yang sedemikian sulit, museum dan lembaga-lembaga budaya Ukraina menunjukkan bahwa potensi museum menjadi lebih dari sekadar tempat belajar. Museum dan propaganda politik: Indoktrinasi konten politik ke ruang yang tampak netral Museum sebagai wadah pembawa budaya dan pengetahuan, memiliki tugas untuk menyalurkan fakta-fakta yang tidak menyimpang dari yang sebenarnya tentang peristiwa terkini atau sejarah. Dalam menghadapi data-data baik berwujud benda maupun catatan teks, pandangan dan pengalaman pribadi terhadap cerita selalu saja muncul. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa baik kurasi museum atau museum itu sendiri sulit untuk bersikap netral, metode penempatan tampilan menyiratkan perspektif cerita tersendiri. Profesor Pawel Machcewicz mengambil pengalamannya sebagai contoh nyata, di mana saat beliau membangun museum Perang Dunia II di Gdańsk, Polandia, sayap kanan negara tersebut memengaruhi arah pembangunan dengan sangat parah dan bila tidak menyampaikan informasi patriotisme , maka dianggap mengkhianati negara. Akibatnya, pembangunan museum dihentikan dan menghadapi hambatan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Institusi budaya yang dibangun dengan sumber daya negara saja telah menanggung risiko narasi tunggal, belum lagi institusi budaya yang dibangun di bawah rezim totaliter. Sejalan dengan itu, Voytech Kynci dari Institut Akademi Sains Republik Ceko mengingatkan untuk tidak melupakan pengalaman Sovietisasi Republik Ceko dan menekankan masa lalunya yang sulit namun penting. Dalam konteks yang sama, narasumber Babara Thimm yang berasal dari S21 Kamboja menyebutkan bahwa dalam menghadapi orang-orang yang meragukan pekerjaan mereka, cara merespons terbaik adalah memberikan informasi faktual dengan metode bimbingan dan membiarkan bukti berbicara sendiri. Sebelumnya, S21 adalah penjara pada era pemerintahan Khmer, sekarang S21 telah menjadi museum yang mendokumentasikan rasa sakit dan luka yang dibawa oleh para penindas. Seniman Kuba, Geandy Pavón, atas nama para pengungsi yang telah melarikan diri ke Amerika Serikat mengingatkan masyarakat untuk tidak menerima mentah-mentah apa yang disampaikan institusi yang berada di bawah rezim penindas. Museum dan dialog: Pertukaran yang terus berkembang menuju masa depan yang lebih baik Museum di abad ke-21 adalah ruang komunal. Meskipun sebagian orang masih melihat museum sebagai institusi elit, tetapi semakin banyak pendidik membawakan pendekatan interaktif dan bottom-up ke dalam museum untuk menerima pendapat lain di luar diri sendiri. Museum perlu berinteraksi dengan publik, tidak hanya memperkenalkan lebih banyak narasi sipil, tetapi juga memperkenalkan konteks tentang era tertentu, peristiwa sejarah dan rentang kehidupan sehari-hari masyarakat biasa. Aeda Rechna dan Almudena Cruz Yeba yang masing-masing merupakan pekerja museum dari Portugal dan Spanyol, membawa kisah yang berbeda dari buku teks. Keduanya menekankan pentingnya pemrosesan sejarah yang sulit secara berkelanjutan. Mereka bahkan mengajak masyarakat untuk berpartisipasi dalam konstruksi memori, peristiwa dan penemuan kembali warisan budaya mereka. Demi membangun jembatan antara yang tidak dikenal dan yang tidak terdengar, wacana dialog telah menjadi media yang paling berharga. Margarita Reyes Suárez yang merangkap sebagai antropolog dan museolog, dalam pidatonya tentang museum dan masyarakat sipil, lebih lanjut menekankan perlunya pemantauan kapitalisasi dan Amerikanisasi museum di bawah arus pariwisata. Warisan budaya perlu dilestarikan dengan cara yang lebih beragam, tidak hanya sekadar mengandalkan diri pada masuknya aliran modal. Dengan antusias, Suárez menggambarkan pengembalian tanggung jawab museum terhadap masyarakat, dia juga menekankan untuk dekolonisasi melalui perspektif Barat dan memberi lebih banyak ruang bagi keragaman budaya. “Museum seharusnya menjadi tempat untuk mendengarkan, dan tempat masyarakat mengutarakan isi hari mereka,” pungkasnya. Dengan semangat yang sama, Ladislav Jackson juga menyingkap keberadaan queer Ceko di masa lalu, dan menyerukan kepada komunitas museum untuk keluar dari pemikiran dominasi heteroseksual biner dan mengambil tindakan hati-hati namun progresif dalam menanggapi hak hidup kaum queer dan hak kaum queer untuk diingat. Sama seperti bagian sejarah lainnya, kehidupan dan artefak non-heteroseksual perlu dicatat dan didokumentasikan. Oleh karena itu, museum juga harus lebih memperhatikan dan memberikan perhatian khusus kepada para pekerja dan peneliti museum yang tergolong sebagai queer. Hanya dengan membuka saluran komunikasi kepada masyarakat umum dan komunitas di mana museum itu berada, kita dapat mencapai kesetaraan hak dan meninggalkan catatan yang lebih otentik. Sejak awal berdirinya Perpustakaan Alexandria, koleksi dan pembelajaran selalu menjadi motivasi dan tujuan museum yang telah dilakukan sepanjang perkembangannya. Museum kontemporer juga memikul misi ini untuk melangkah maju dengan cara yang lebih bermakna dan inklusif bagi warga dan pengguna ruang museum. Selama kongres, kekuatan kolektif masyarakat akan terkumpul dan menjadi simbol kekuatan. Mulai saat ini, museum kontemporer harus bersatu menjadi sebuah komunitas yang memperkuat hubungan antara kita dengan semua orang dan lebih kokoh dari sebelumnya.
Tentang Penulis: Nathaporn Songsawas Nathaporn Songsawas meraih gelar Sarjana Sastra dengan jurusan Bahasa Inggris sebagai kurikulum mayor dan Sastra Komperatif sebagai kurikulum minornya dari Universitas Chulalongkorn, Thailand. Saat ini, Nathaporn bekerja sebagai penulis independen dan rekan peneliti hak asasi manusia untuk Yayasan Lintas Budaya (CrCF). Yayasan ini adalah sebuah organisasi nirlaba yang berbasis di Thailand dan bertenggang untuk memastikan keadilan yang sama bagi semua orang di Thailand. Tentang Instansi: Yayasan Lintas Budaya (CrCF) Yayasan Lintas Budaya atau Cross Cultural Foundation (CrCF) didirikan pada tahun 2002. Organisasi nirlaba yang berbasis di Thailand ini bertekad untuk memastikan keadilan yang merata bagi semua masyarakat di Thailand. Selain itu, yayasan juga bekerja erat dengan jaringan hak asasi manusia internasional untuk memajukan inklusi dan pemberdayaan masyarakat adat dan kaum minoritas. Secara khusus, CrCF bekerja dalam bidang pekerjaan sebagai berikut: memantau dan menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia, mengadvokasi visi keadilan dengan memberdayakan masyarakat untuk memahami dan menggunakan hak-hak mereka, mencegah tindakan penyiksaan, melindungi hak asasi manusia dengan strategi hukum, memberikan bantuan hukum gratis dan bantuan khusus kepada kelompok rentan di daerah perbatasan Thailand. Petikan kalimat di atas merupakan salah satu pesan yang tertulis di atas kain kanvas berbentuk layang-layang yang berfungsi untuk menyampaikan suara-suara dari selatan Thailand ke wilayah lainnya. Kain ini juga merupakan salah satu karya seni interaktif yang dipamerkan pada pameran “Tenggelam” (Submerged) di Pattani, Thailand pada tanggal 10-13 Juni 2022. Pameran ini bertujuan mengangkat berbagai isu pelanggaran hak asasi manusia di perbatasan dan membangkitkan kesadaran masyarakat.
Kata pengantar FIHRM didirikan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap isu-isu hak asasi manusia dan berinisiatif memotivasi museum untuk terlibat dalam isu-isu demokrasi dan inklusi. Konferensi tahunan FIHRM tahun 2022 diadakan di Oslo pada bulan September. Konferensi yang berlangsung selama tiga hari ini diselenggarakan oleh Perhimpunan Museum HAM Norwegia (Demokratinetverket) di tempat-tempat penting di Oslo yang memiliki makna tersendiri dan mewakili demokrasi dan hak asasi manusia yang terdiri dari Museum Eidsvoll 1814, Pusat Nobel Perdamaian dan Pusat Studi Holocaust dan Agama Minoritas Pembahasan pertama yang diangkat adalah tentang bagaimana menggunakan pemikiran kritis dalam membahas otonomi dan fleksibilitas hak asasi manusia di bawah situasi hak asasi manusia dan pemikiran demokrasi masyarakat ditindas, hubungan seperti apa yang ada diantara museum, pemerintah dan masyarakat, dan tekanan apa yang ada selama perkembangannya? Di sisi lain, bagaimana seharusnya museum hak asasi manusia berperan dan berinteraksi dengan topik kontroversial. Pembahasan kedua menjelaskan tentang situasi museum hak asasi dunia saat ini secara global, membahas inklusi dan eksklusi sosial, budaya dan politik dari berbagai sudut pandang yang berbeda, dan memberikan pendekatan dan strategi inklusi yang dapat diterapkan museum hak asasi manusia. Tekanan dan tantangan internal dan eksternal isu HAM yang dihadapi oleh museum Kesetaraan sosial adalah ideologi yang sangat penting dalam masyarakat ideal, tetapi jalan menuju utopia ini masih memiliki banyak tantangan dan halangan. Sesi pembukaan pada hari pertama dibuka oleh Ketua Komite Internasional Dilema Etis ICOM (IC Ethics) yang juga merangkap sebagai Kurator Senior Museum Vest-Adger, Kathrin Pabst, menjelaskan tentang tantangan-tantangan yang mungkin akan dihadapi oleh museum HAM. Lima tekanan yang sering dijumpai museum terdiri dari perselisihan antar rekan kerja, upaya penghapusan masa lalu, intervensi politik dadakan, perang dan pengrusakan, serta motif dalam melindungi warisan budaya suatu negara. Sumber tekanan ini terbagi menjadi internal dan eksternal, internal dari personel dalam organisasi museum itu sendiri, sementara eksternal dari masyarakat dan pemerintah setempat. Namun, krisis juga merupakan situasi titik balik. Meskipun pengembangan museum hak asasi manusia menghadapi berbagai tantangan, tetapi tekanan ini juga dapat dijadikan sebagai stimulan untuk meraih kemajuan. Ketua Dewan Direksi Forum Museum Eropa (European Museum Forum) Jette Sandahl memberikan pencerahan bagaimana seharusnya museum menanggapi tantangan yang ada, ia mengatakan museum-museum justru harus bersatu dalam menghadapi banyak tekanan dan krisis untuk menyingkirkan eksepsionalisme yang telah ada selama berabad-abad, tidak terkunci pada pemikiran lama dan berani keluar dari zona nyaman untuk menemukan sahabat dalam mencari cara untuk maju. Personel museum harus memiliki keberanian untuk menentang kepasifan atau persekongkolan dalam museum, menyelesaikan dilema dan konflik dengan keyakinan yang kuat dan kekuatan kolektif. Mengenai bagaimana semangat solidaritas ini diterapkan di museum, para akademisi dari Museum Nasional Liverpool dan Universitas Leicester akan memberikan contoh nyataberikut ini. Proyek transformasi tepi laut kolaborasi museum dan interdisipliner Museum Nasional Liverpool dan Universitas Leicester mendiskusikan proyek kerja sama mereka tentang transformasi tepi laut (Waterfront Transformation). Proyek ini merupakan contoh yang sangat baik tentang penggunaan kekuatan kolektif untuk bersama-sama memajukan pengembangan lokal menuju masyarakat yang setara melalui kerja sama dalam berbagai aspek dan bidang. Proyek transformasi tepi laut akan terus menjaga terjalinnya hubungan museum dengan masyarakat kontemporer, langkah pertama dimulai dari Liverpool yang ikonik, dengan menghubungkan cerita, warisan budaya, komunitas dan pariwisata yang menjadi simbol Liverpool yang selain menciptakan pengalaman istimewa bagi turis, juga akan menimbulkan fungsi katalisator peningkatan komunitas dan lingkungan. Ini bukan hanya proyek kerjasama antar museum, tetapi juga menyatukan kekuatan masyarakat setempat untuk menciptakan kota tepi laut Liverpool yang lama dan baru.
Tadayuki Komai Lahir di kota Gose, prefektur Nara, Jepang pada tahun 1972. Tadayuki mulai menjadi kurator ketika Museum Suiheisha dibuka pada tahun 1998, ia kemudian menjadi kepala museum pada tahun 2015. Tadayuki memperkenalkan ideologi pembentukan Museum Suiheisha kepada dunia melalui FIHRM dan Warisan Ingatan Dunia (MoW). Tadayuki yang bertugas pada kelas studi tentang hak asasi manusia di Kobe College juga memiliki hasil karya publikasi bersama, seperti: Edisi baru “水平社の源流[3] ” (Penerbit Open Magazine, 2002), “水平社宣言の熱と光[4] ” (Penerbit Open Magazine, 2012), “近代の部落問題” (Seminar Masalah Suku Jepang Modern 1), Penerbit Open Magazine, 2022). Museum Suiheisha Museum Suiheisha dibuka di tempat kelahiran Suiheisha Kasiwabara Nasional di kota Gose, prefektur Nara pada Mei 1998. Pendirian museum bertujuan untuk berkontribusi pada revitalisasi budaya hak asasi manusia dan membudayakan falsafah HAM dengan meluncurkan informasi tentang diskriminasi dan hak asasi manusia. Pada September 2015, Museum Suiheisha untuk pertama kalinya berpartisipasi dalam konferensi FIHRM (Federasi Museum Hak Asasi Manusia Internasional) di Wellington, Selandia Baru dan menjadi organisasi Jepang pertama yang bergabung dengan FIHRM pada bulan Desember di tahun yang sama. Sejak itu, Suiheisha menggalakkan berbagai kegiatan dan membagikan filosofi pendirian “merealisasikan falsafah martabat manusia dan perdamaian” dengan dunia. Pada Mei 2016, Museum Suiheisha memperkenalkan “Catatan bersama orang yang terdiskriminasi lintas batas Suiheisha dan Hyonpyonsa” (Lima bahan sejarah koleksi Museum Suiheisha) yang terdaftar dalam Warisan Ingatan Dunia (MoW) UNESCO edisi Asia-Pasifik, di ICOM (Konferensi Museum Internasional) dan Konferensi FIHRM Rosario, Argentina. Museum akan terus bekerja keras untuk mendaftarkannya dalam versi internasional. Pada kesempatan peringatan 100 tahun berdirinya Suiheisha pada tanggal 3 Maret 2022, Museum yang telah direnovasi dibuka kembali. Pada tanggal 3 Maret 1922, di Balai Umum kota Kyoto, Suiheisha didirikan dengan tujuan mewujudkan kesetaraan dan martabat manusia. Anggota utama pendirian Suiheisha terdiri dari para pemuda yang lahir dan tumbuh di lokasi bernama Kasiwabara, kota Gose, prefektur Nara saat ini. Pendirian Suiheisha memiliki misi untuk menghapus diskriminasi terhadap burakumin, mendorong kebebasan dan kesetaraan, menegakkan hak asasi manusia untuk mewujudkan pembebasan burakumin, semangat perjuangan ini diteruskan oleh setiap kontributor hingga sekarang. Untuk mewariskan proses perjuangan ini kepada generasi mendatang, pada bulan Mei 1998 di Kasiwabara, tempat lahirnya Suiheisha, dengan dukungan dari seluruh negeri, Museum Sejarah Suiheisha (berganti nama menjadi Museum Suihesha pada tahun 1999) didirikan . Ideologi pendirian museum yang membangunkan resonansi Deklarasi pendirian Museum Suiheisha yang berbunyi “Menghormati manusia untuk pembebasan diri” dengan motto “Kehangatan bagi dunia membawa kecemerlangan ke manusia” adalah deklarasi hak asasi pertama yang diserukan oleh pihak yang didiskriminasi baik dalam sejarah Jepang maupun sejarah dunia. Filosofi pendirian museum adalah untuk menciptakan masyarakat yang mengakui keberadaan berbagai jenis identitas tanpa diskriminasi. Hal ini tidak saja mendapatkan respon dari warga burakumin saja, tetapi juga dari khalayak ramai, dan memberikan inspirasi dan keberanian bagi Zainichi (orang Korea di Jepang), orang Ryukyu (penduduk asli Okinawa), suku Ainu dan orang yang sembuh dari penyakit kusta akan hak untuk menentukan nasib sendiri. Bahkan mempengaruhi Pekuchon yang didiskriminasi di Korea Utara, Hyonpyonsa didirikan dengan Pekuchon sebagai inti utama pada bulan April 1923. Sejarah pertukaran aliansi Suiheisha dan Hyonpyonsa adalah catatan yang berlandaskan prinsip-prinsip universal manusia seperti hak asasi manusia, kebebasan, kesetaraan, persaudaraan dan demokrasi. Data sejarah menunjukkan bahwa pertukaran mereka dikenal sebagai “Suiheisha dan Pekuchon, catatan bersama warga yang didiskriminasi lintas perbatasan”, dan terdaftar dalam Warisan Ingatan Dunia (MoW) UNESCO-AP pada tahun 2016. Selain itu, pendirian Museum Suiheisha juga menarik perhatian media asing, majalah “The Nation” juga menerbitkan deklarasi terjemahan bahasa Inggris pendirian Suiheisha dalam sebuah artikel pada 5 September 1923. Diskriminasi burakumin apa yang ingin dihilangkan Suiheisha Berdasarkan konsep deklarasi pendiri Suiheisha Nasional, Museum Suihesha memiliki visi untuk menghilangkan diskriminasi terhadap suku minoritas yang terdiskriminasi. Akar dari apa yang disebut diskriminasi burakumin berasal dari sistem identitas di Jepang pada era pra-modern, di mana pada saat itu, masyarakat mendiskriminasi orang dengan identitas “kotor”. Bahkan hingga sistem identitas ini dihapus secara hukum di Jepang modern, di mana status “kotor” ini telah dihapus pada tahun 1871, tetapi diskriminasi terhadap burakumin yang ditata ulang dalam masyarakat sipil modern kembali menimbulkan masalah sosial yang melekat dalam masyarakat Jepang. Diskriminasi burakumin ini mirip dengan diskriminasi “Tak tersentuh (Untouchables)” dan “Di luar kasta (Outcasts)” serta ras yang disebut “Paria (Dalit)” dalam sistem kasta India. (Orang yang tidak tersentuh, di luar kasta atau terlantar dan paria bukan merujuk pada ras yang berbeda, melainkan nama yang berbeda dari mereka yang didiskriminasi.) Berdasarkan konsep deklarasi pendiri Suiheisha Nasional, Museum Suihesha memiliki visi untuk menghilangkan diskriminasi terhadap suku minoritas yang terdiskriminasi. Akar dari apa yang disebut diskriminasi burakumin terletak pada sistem identitas di Jepang pada zaman pra-modern, di mana pada saat itu, masyarakat mendiskriminasi orang dengan identitas “kotor”, sementara sistem identitas ini tidak ada lagi di Jepang modern secara hukum. Meskipun status “kotor” ini telah dihapus pada tahun 1871, tetapi diskriminasi terhadap burakumin yang ditata ulang dalam masyarakat sipil modern kembali menimbulkan masalah sosial yang melekat dalam masyarakat Jepang. Diskriminasi burakumin ini mirip dengan diskriminasi “tak tersentuh” dan “di luar kasta” serta ras yang disebut “paria” dalam sistem kasta India. Selain itu, diskriminasi terhadap kaum burakumin didefinisikan dalam UU Jepang Pasal 14 pada November 1946 sebagai diskriminasi yang terkait dengan “status sosial dan latar belakang keluarga”, sama seperti “Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial” yang diloloskan Sidang Majelis Umum PBB ke-20 pada Desember 1965, ditempatkan dalam posisi diskriminasi “turun temurun (descent)”. Penghapusan diskriminasi, baik dalam domestik maupun internasional adalah misi yang sangat penting dalam mengatasi masalah hak asasi manusia. Sejak tahun 1868, Jepang menjadikan “Pembaruan Meiji” sebagai titik tolak pengembangan negara Jepang menjadi negara modern (1868 adalah titik awal, dan bukan hanya pada tahun tersebut), dan menata ulang tatanan pembedaan diskriminasi status pra-modern, di mana diskriminasi terhadap kaum burakumin masih ada dalam masyarakat modern. Terutama sekitar tahun 1900-an, diskriminasi terhadap burakumin mulai meningkat drastis, yang memicu pemerintah berupaya untuk memperbaiki masalah kesukuan melalui mekanisme dari atas ke bawah, atau berupaya mengintegrasikan warga burakumin dan non-burakumin. Tetapi kaum burakumin masih belum puas dengan upaya pemerintah, sehingga setelah Perang Dunia Pertama, kaum burakumin dari berbagai daerah aktif dalam gerakan independen tentang penghapusan diskriminasi dan mewujudkan keinginan menentukan nasib sendiri dalam hal kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan. Motivator utama dalam gerakan perwujudan kebebasan burakumin secara independen adalah Suiheisha. Perwujudan harkat dan martabat manusia Meskipun Suiheisha Nasional secara resmi dibubarkan pada tahun 1942, tetapi filosofi pendirian Suiheisha akan kesetaraan dan martabat manusia dicita-citakan sejak saat itu terus diwariskan ke generasi berikutnya, dan gerakan pembebasan burakumin masih tetap berlangsung. Pada tahun 1948, PBB berdasarkan mengesahkan“Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia” memutuskan untuk merumuskan yang mengatur prinsip-prinsip menghormati hak asasi manusia. Pada tahun 1995, “Pendidikan Satu Dekade HAM PBB” mulai digalakkan. Dan mulai tahun 2005, melakukan advokasi “Pengarusutamaan hak asasi manusia”, kesemua upaya ini mendapat dukungan yang cukup besar dan mulai mendapat pengakuan secara global. Kemudian dalam KTT Pembangunan Berkelanjutan PBB tahun 2015, segenap hadirin dengan suara bulat memilih untuk menciptakan semua orang di bumi ini dapat menjalani kehidupan yang berkecukupan, bahagia dan SDGs (tujuan pembangunan berkelanjutan) dan tidak ada yang akan dikecualikan. Untuk mewujudkan masyarakat yang berkelanjutan, SDGs telah menetapkan 17 tujuan misi inti dan 169 proyek benchmark misi terperinci dengan kata kunci hak asasi manusia, yang selaras dengan garis besar filosofi Suiheisha yakni “Kebangkitan prinsip pembawaan manusia menuju kesempurnaan manusia yang tertinggi”. Sebagai museum Jepang pertama yang bergabung dengan Federasi Museum Hak Asasi Manusia Internasional (FIHRM), museum Suiheisha berhasil menyalurkan filosofi pendirian Suiheisha ke seluruh penjuru dunia melalui Warisan Ingatan Dunia (MoW) dan FIHRM. Museum Suiheisha merealisasikan pencapaian martabat manusia melalui pameran dan menyalurkan penyaluran informasi terkait hak asasi manusia. Penggalakan kegiatan ini didukung oleh berbagai organisasi dan kelompok. Pada tahun 1999, di lokasi pendirian museum di Kasiwabara telah berdiri Asosiasi Kerjasama Lokal Museum Suiheisha, yang terdiri dari berbagai lembaga swadaya. Untuk menyambut hangat kedatangan pengunjung, asosiasi merenovasi dan menanam pohon di taman dekat museum. Selain itu, untuk mendukung berbagai proyek museum dan berkontribusi dalam hal pemeliharaan dan pengembangan museum, berbagai organisasi di prefektur Nara yang bekerja bergerak di bidang pendidikan, olahraga, agama, perusahaan dan serikat kerja membentuk Asosiasi Sponsor Museum Suiheisha. Salah satu dari organisasi yang berpartisipasi adalah Aliansi Pembebasan Burakumin Prefektur Nara adalah organisasi yang berasas pada semangat Suiheisha yang mewarisi gerakan pembebasan burakumin. Organisasi ini membeli sejumlah tiket museum pada setiap tahunnya untuk meningkatkan jumlah pengunjung museum. Selain itu, dalam rangka pemugaran untuk memperingati 100 tahun berdirinya Suiheisha, asosiasi sponsor bekerja sama dengan organisasi pendukung lainnya untuk meninjau isi pameran, dan menyerap pendapat dari berbagai perspektif untuk membuat konten pameran yang mendukung. Hasil dari upaya ini meninggalkan pesan dan kesan yang mendalam kepada banyak pengunjung. Dalam pameran terbaru “Area Epilogue”, terdapat kutipan haru dari orang-orang terkenal dan kumpulan “kata-kata yang mengesankan” yang disumbangkan oleh warga biasa. Pada dinding ruang putih dipajangkan secara permanen kutipan yang diadvokasi Suiheisha seperti “Membina dunia yang penuh kehangatan” dalam bentuk karakter tiga dimensi (merujuk pada gambar berikut). Selain itu, pada lima layar besar yang dipasang di dinding, juga menampilkan kata-kata yang menyentuh sanubari pengunjung secara bergantian. “Kata-kata yang bergema di dalam batin” dalam pameran yang disebut sebagai “Museum Seni Bicara” ini akan membuka perekrutan secara luas di masa depan. Siapapun dapat berpartisipasi dalam pameran ini, dengan harapan hal ini bisa menjadi ruang komunal dengan gagasan mewujudkan harkat dan martabat manusia. Terutama dalam pameran terakhir setelah pemugaran, menyajikan kutipan mengesankan dari orang-orang terkenal dan kumpulan “kata-kata yang bergema di dalam batin” dari masyarakat awam. Pada dinding ruang putih dipajangkan secara permanen petikan yang diadvokasi Suiheisha seperti “Membina dunia yang penuh kehangatan”. Selain itu, pada lima layar besar yang dipasang di dinding, juga menampilkan kata-kata yang menyentuh sanubari pengunjung secara bergantian. “Kata-kata yang bergema di dalam batin” dalam pameran yang disebut sebagai “Museum Seni Bicara” ini akan membuka perekrutan secara luas di masa depan. Siapapun dapat berpartisipasi dalam pameran ini, dengan harapan hal ini bisa menjadi ruang komunal dengan gagasan mewujudkan harkat dan martabat manusia. Menciptakan dunia yang penuh kehangatan Sejak berdirinya museum Suiheisha pada tahun 1992, gerakan penghapusan diskriminasi burakumin dan penegakan hak asasi manusia di dalam dan luar negeri telah berlangsung selama 100 tahun. Tetapi kenyataan Jepang saat ini, diskriminasi terhadap minoritas yang digulati Suiheisha Nasional selama ini selalu muncul ke permukaan pada ajang pernikahan atau perjanjian lahan yasan, hingga saat ini, situasi ini masih sulit untuk dikatakan telah hilang total.” Di samping itu, kesalahpahaman masyarakat terkait tabu burakumin sering disalahgunakan oleh banyak oknum tertentu, misalnya, memperalat isu kekurangpahaman terhadap burakumin sebagai alasan untuk menjual buku dengan harga mahal, mengatasnamakan masalah burakumin sebagai dalil untuk memperoleh keuntungan yang tidak semestinya, atau memaksakan kewajiban untuk melakukan sesuatu. Perilaku ini juga menyebabkan timbulnya prasangka dan kesalahpahaman. Lebih parah lagi, fitnah dan respon yang mengkambinghitamkan burakumin menjadi penyebab meningkatnya diskriminasi. Mengingat situasi demikian, Jepang kembali memberlakukan “Tiga Hukum Hak Asasi Manusia” pada tahun 2016 yang terdiri dari “Hukum Penghapusan Diskriminasi terhadap Burakumin”, “Hukum Penghapusan Diskriminasi terhadap Penyandang Disabilitas” dan “Hukum Penghapusan Ujaran Kebencian”. Kemudian pada tahun 2019, pemerintah Jepang juga menerapkan hukum “Pemajuan Kebijakan Ainu”. Di bawah situasi dan latar belakang diskriminasi burakumin dan tren hak asasi manusia yang disebutkan di atas, rantai hubungan antara gerakan hak asasi manusia dan gerakan pembebasan burakumin terhubung melalui pembentukan jaringan regional, penghapusan diskriminasi menjadikan prefektur Nara sebagai basis untuk menyalurkan informasi ke dunia luar. Museum Suiheisha membantu dan mendukung gerakan ini dan mengambil peran sebagai basis untuk menyebarkan informasi hak asasi manusia. Meneruskan warisan Suiheisha Nasional tentang konsep martabat dan kesetaraan manusia, semangat pantang menyerah pada diskriminasi dengan menyematkan cita-cita ini pada masa depan. Cita-cita “Membina dunia yang penuh kehangatan” adalah upaya untuk mewujudkan ideologi dan konsep dalam filosofi pembentukan Suiheisha, di mana setiap orang dapat mengandalkan dirinya se-apa adanya untuk menciptakan situasi di mana mereka dapat hidup dengan nyaman dalam masyarakat yang toleran dan inklusif. Kami percaya bahwa semua pengunjung Museum Suiheisha akan setuju dan meresonansi. “Dunia Penuh Kehangatan, Kemanusiaan Menjadi Mulia”
Perkenalan Instansi: Museum Seni Kontemporer Taipei (MoCA) Museum Seni Kontemporer Taipei (MoCA) didirikan pada tahun 2001, merupakan museum seni pertama di Taiwan yang mempromosikan seni kontemporer, yang mengeksplorasi budaya visual kontemporer dan masyarakat secara mendalam melalui pameran dan kegiatan yang beraneka ragam. Tentang Penulis: Chan Hua-tzu (詹話字): Doktor Fakultas Manajemen Seni dan Kebijakan Budaya, Universitas Seni Nasional Taiwan (NTUA). Chan pernah menjadi sekretaris jenderal Association of the Visual Arts in Taiwan dan direktur eksekutif Digital Art Center, Taipei. Saat ini, Chan menjabat sebagai wakil kepala bagian penelitian di MoCA. Luo Li-chen (駱麗真): Ahli dalam bidang seni kontemporer, penelitian dan inovasi seni media baru, kreator dan pengamat seni, pendidikan seni, pemasaran digital dan penelitian tren. Saat ini, Luo dipinjam tugaskan dari Fakultas Humas dan Periklanan, Universitas Shih Hsin sebagai kurator penuh untuk Museum Seni Kontemporer Taipei. Pembahasan seni kontemporer saat ini tidak bisa terlepas dari lingkungan masyarakat, di mana dengan merasakan pemikiran-pemikiran yang disampaikan melalui kreasi seni dan membaca pesan-pesan yang diutarakan, masyarakat luas dapat berdialog dan bertukar pikiran dengan lebih leluasa. Sebagai kekuatan rakyat awam untuk berpartisipasi dalam praktik aksi sosial, museum seni berharap pengunjung dapat tersentuh dan berpikir secara mendalam, serta membawa pemikiran tersebut kembali pada keseharian mereka untuk memungkinkan membawa tindakan atau perubahan di masa depan. Hal ini merupakan energi potensial seni kontemporer yang tidak dapat diabaikan. MoCA aktif menciptakan ruang diskusi isu-isu sosial kontemporer Berdasarkan keyakinan ini, Museum Seni Kontemporer Taipei (MoCA) aktif memerhatikan berbagai masalah HAM ketika merencanakan pameran dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2017, Yudisial Yuan mengumumkan Hukum Perdata saat ini belum menjamin kebebasan dan kesetaraan pernikahan sesama jenis dan hal ini telah bertentangan dengan undang-undang dasar. Untuk itu mengharuskan legislatif untuk merevisi undang-undang atau memberlakukan undang-undang khusus dalam waktu dua tahun untuk melindungi hak atas pernikahan sesama jenis, dan menjadikan Taiwan sebagai negara Asia pertama yang melegalkan pernikahan sesama jenis. Pada saat yang sama, MoCA meluncurkan pameran “Spectrosynthesis - Asian LGBTQ Issues and Art Now” yang diorganisir oleh kurator independen Hu Chao-sheng (胡朝聖). Pameran ini merupakan pameran bertajuk tentang LGBT skala besar pertama museum seni nasional di Taiwan, dengan kata lain, pameran ini memiliki makna yang sangat penting. Pada alun-alun di depan gedung MoCA terdapat instalasi seni karya Chuang Chih-wei (莊志維) yang berjudul “Pelangi dalam Kegelapan”, di mana masyarakat bisa mengikiskan gambar pada instalasi seni untuk menyampaikan teriakan hati yang sempat terbungkam tentang ketidakadilan yang tersembunyi dalam lubuk hati paling mendalam, berdampingan dengan kata-kata selamat dan pujian sebagai bentuk ekspresi hati publik. Kotak-kotak besar ini bersinar memancarkan kekuatan pelangi karena teriakan publik. Pameran ini selanjutnya melakukan tur ke Bangkok, Thailand dan Hongkong untuk menunjukkan kekuatan aksi membahas masalah sosial melalui seni kontemporer.